Setelah sekian tahun sibuk sekali dengan tugas-tugas berat dan menyita waktu, pikiran dan tenaga, akhirnya sampai juga ke masa pensiun. Ingin tahu bagaimana rasanya? Memasuki masa pensiun itu seperti kita tiba-tiba masuk ke dalam ruang ber-AC yang sangat sejuk setelah berjam-jam dijemur di lapangan terbuka di bawah teriknya matahari, pada musim kemarau, di jalur katulistiwa. Rasanya “Mak nyêssss….”.

Masa pensiun itu seperti kita terlahir kembali. Segalanya baru. Sudah lama dipersiapkan tetapi masih saja terasa berbeda. Suasananya, lingkungannya, tantangannya.
Pertanyaan yang diajukan kawan-kawan kepada saya: Menjadi direktur dimana sekarang? Bekerja dimana sekarang? Berbisnis apa? Kegiatannya apa saja?
Pasti itu juga pertanyaan yang diajukan kepada setiap orang yang baru pensiun.
Jawaban saya: Saya sudah tidak bekerja lagi, tidak berbisnis apa pun, dan tidak sibuk sama sekali.
Lho sayang dong, masih muda, masih enerjik, punya banyak pengalaman, banyak ilmu (apa iya?).
Pertanyaan dalam hati saya, setelah pensiun apa orang masih harus terus bekerja seperti dulu atau masih serius sekali berbisnis?
Untuk apakah? Apakah masih memerlukan pendapatan sebesar dulu?
Harusnya tidak lah. Kebutuhan untuk diri sendiri sudah pasti berkurang. Tidak perlu pengeluaran untuk transportasi, baju kerja, sepatu dan keperluan lain sehubungan dengan kantor. Sudah tidak perlu tampil sekeren dulu. Makan pun sesuai umur, tidak lagi “nggragas” seperti dulu. Kebutuhan untuk keluarga juga harusnya berkurang atau disesuaikan. Keinginan-keinginan yang timbul dalam frame masih aktif, harus ditekan karena sudah tidak relevan.
Itu sebabnya saya memilih tidak lagi memberikan waktu berharga saya untuk bekerja yang menyibukkan seperti dulu. Sebagai manusia harus tetap berkarya tetapi harus dengan waktu yang lebih fleksibel.
Sudah saatnya saya yang mengatur waktu, bukan seperti dahulu, waktu yang mendikte saya sampai rasanya 24 jam sehari pun tidak cukup.
Ilmu dan pengalaman disia-siakan? Tidak juga. Jaman sudah berubah. Ilmu dan pengalaman masa lalu segera tidak fit lagi dengan jaman. Bukankah derapnya perubahan semakin kerap dan kerap?
Memang, ilmu dan pengalaman perlu untuk dibagi, apalagi wisdom. Tapi ingat, banyak cara dan opsinya, tidak harus bekerja yang masih menyita waktu.
Pertanyaan berikutnya, kalau tidak memilih sibuk bekerja, lalu apa saja yang dilakukan setelah memasuki masa pensiun?
Bagi saya (semoga Tuhan meridhoi) waktu akan saya dedikasikan terutama kepada 4 (empat) hal saja. Pada prinsipnya saya ingin membayar kembali “dosa” saya selama 35 tahun yang tidak memberi perhatian dan waktu saya yang cukup kepada keempatnya.
Siapa saja empat hal itu?
1. Keimanan dan agama.
Betapa kita ini sekolah sudah sampai S2, S3, pelatihan sampai kemana-mana, sertifikasi bertumpuk, tapi “sekolah” agama hanya sempat masa kecil sehingga rasanya setara SD pun belum lulus. Semoga belum terlambat sekarang membayarnya. Tentu tidak hanya sekolahnya, yang lebih penting adalah pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Keluarga.
Istri, anak, cucu, keponakan, apalagi orang tua yang tercinta sudah terlalu lama kita nomor sekiankan. Semuanya kalah dengan penugasan-penugasan yang tidak ada habisnya. Bahkan mendoakan mereka pun selama ini mungkin sekedarnya saja. Waktunya untuk berubah.

3. Lingkungan sosial.
Rapat RT, nongkrong dengan tetangga, olah raga bersama kawan-kawan lama, kapan terakhir dilakukan? Mendatangi panti asuhan, sekolah SLB selama ini sudah dilakukan tetapi semuanya dalam konteks tugas. Apakah sudah cukup? Rasanya jauh dari cukup.
4. Terakhir, untuk diri sendiri.
Menjaga kesehatan, menyalurkan hobby, tadabur alam, bersosialisasi, sekali-sekali punya “me-time” memerdekakan pikiran. Semuanya sangat bisa dilakukan sendiri atau bersama keluarga.
Keempat prioritas itu saya yakin tidak akan menghilangkan waktu pensiun dengan sia-sia. Semoga saya dan kita semua bisa menjalaninya dengan sebaik-baiknya pada time frame-nya masing-masing. Aamiin. Di atas Argo Parahyangan, 15 Juni 2019. Artikel diambil dari group WA semoga menjadi pengalaman baru.